Kompaswarta | Pagi ini berseliweran di WA tentang status Buni Yani yang dinaikkan jadi Tersangka, tersebab caption video yang diuploadnya, katanya pencemaran nama baik dan isu SARA.
Jujur, saya samasekali belum pernah melihat video ataupun captionnya, maka berdasarkan trend terkini, saya pun "baca di google", dapatlah posting yang dimaksud.
Saya baca berulang-ulang caption yang Buni Yani tulis (3 paragraf), sangat-sangat plain, bahasanya reportase, kalimatnya tak bercabang, samasekali tak ada unsur yang dituduhkan.
Sontak pikiran saya melayang pada pertanyaan, sampai seberapa jauh polri? Polri sendiri bicara bahwa semua sama di mata hukum, tapi keberpihakan tampaknya sulit dinafikkan.
Bagaimana
tidak, posting Buni Yani sama sekali tak dimasalahkan, malah jadi masalah bagi Polri, sementara ucapan penista agama meresahkan jutaan, malah masih melenggang.
Bagaimana tidak, dalam kasus si penista agama, Polri ngotot mendatangkan saksi ahli yang meringankan, mencari niat buruk, sampai penekanan dissenting opinion.
Bagaimana tidak, mayoritas ulama-ulama sudah bersuara, MUI memberi sikap keagamaan, masih saja diabaikan, sementara tuduhan kepada Buni Yani diada-adakan.
Ini bukan tentang membela Buni Yani, tapi ini tentang melawan kebatilan, adakah keadilan yang tersisa pada Polri dalam kasus penistaan agama ini?
Sebanyak apapun dalih, apapun alasannya, ummat sekarang menonton, menunggu, menganalisa, kemana arah Polri? Mengapa justru berhadap-hadapan dengan ummat?
Bila semua nasihat dianggap perlawanan, meminta keadilan disebut makar, menyampaikan pendapat dianggap menggoyang negara, maka apakah ummat bagi Polri?
Kasus ini sederhana, segera tangkap penista agama, hukum seberatt-beratnya, itu saja yang ummat minta. Tapi bila selalu menuduh ada agenda politik, ini tak bijak.
Lalu kita bertanya, dan melihat, ingin sampai sejauh mana Polri?
__
*sumber: status fb Felix Siauw